PERLAWANAN
DI BERBAGAI DAERAH DALAM MENENTANG DOMINASI ASING
Perlawanan Rakyat Maluku
Upaya rakyat Ternate yang
dipimpin Sultan Hairun maupun Sultan Baabulah(1575), sejak kedatangan bangsa
Portugis pada 1512 tidak berhasil, penyebabnya adalah tidak ada kerja sama
antara kerajaan Ternate, Tidore, dan Nuku. Kekuatan Portugis hanya dapat diusir
oleh kekuatan bangsa Belanda yang lebih kuat.
Pelawanan Rakyat Mataram
Sultan Agung yang memiliki cita – cita mempersatukan pulau Jawa, berusaha
mengalahkan VOC di Batavia. Penyerangan yang dilakukan pada 1628 & 1629
mengalami kegagalan, karena selain persiapan pasukannya yang belum matang, juga
tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan lainnya.
Perlawanan Rakyat Makasar
Konflik antara Sultan Hasanuddin dari Makasar dan Arupalaka dari Bone, memberi
jalan bagi Belanda untuk menguasai kerajaan – kerajaan Sulawesi tersebut. Untuk
memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanuddin menduduki Sumbawa,
sehingga jalur perdagangan Nusantara bagian timur dapat dikuasai. Hal ini dianggap
oleh Belanda sebagai penghalang dalam perdagangan. Pertempuran antara Sultan
Hasnuddin dengan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman selalu dapat dihalau
pasukan Sultan Hasanuddin. Lalu Belanda meminta bantuan Arupalaka yang
menyebabkan Makasar jatuh ke tangan Belanda, dan Sultan Hasanuddin harus
menandatangani perjanjian Bongaya pada 1667, yang berisi :
a. Sultan Hasanuddin harus memberikan kebebasan kepada VOC berdagang di Makasar
dan Maluku.
b. VOC memegang monopoli perdagangan di Indonesia bagian timur, dengan pusat
Makasar.
c. Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki Sultan Hasanuddin
dikembalikan kepada Arupalaka, dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
Perlawanan Rakyat Banten
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa
mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda
ikut campur dalam urusan Banten dengan mendekati Sultan Haji. Sultan Agung yang
sangat anti VOC, segera menarik kembali tahta putranya. Putranya yang tidak
terima, segera meminta bantuan VOC di Batavia untuk membantu mengembalikan
tahtanya, akhirnya dengan bantuan VOC, dia memperoleh tahtanya kembali dengan
imbalan menyerahkan sebagian wilayah Banten kepada VOC.
Perang Paderi (1821 – 1837)
Dilatar belakangi konflik antara
kaum agama dan tokoh – tokoh adat Sumatera Barat. Kaum agama (Pembaru/Paderi)
berusaha untuk mengajarkan Islam kepada warga sambil menghapus adat istiadat
yang bertentangan dengan Islam, yang bertujuan untuk memurnikan Islam di
wilayah Sumatra Barat serta menentang aspek – aspek budaya yang bertentangan
dengan aqidah Islam.
Tujuan ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena kaum adat yang tidak
ingin kehilangan kedudukannya, serta adat istiadatnya menentang ajaran kaum
Paderi, perbedaan pandangan ini menyebabkan perang saudara serta mengundang kekuatan
Inggris dan Belanda.
Kaum adat yang terdesak saat perang kemudian meminta bantuan kepada Inggris
yang sejak 1795 telah menguasai Padang, dan beberapa daerah di pesisir barat
setelah direbut dari Belanda. Golongan agama pada saat itu telah menguasai
daerah pedalaman Sumatra Barat dan menjalankan pemerintahan berdasarkan agama.
Pada tahun 1819, Belanda menerima Padang dan daerah sekitarnya dari Inggris.
Golongan adat meminta bantuan kepada Belanda dalam menghadapi golongan Paderi.
Pada Februari 1821, kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Sesuai
perjanjian tersebut Belanda mulai mengerahkan pasukannya untuk menyerang kaum
Paderi.
Perang
Diponegoro (1825 – 1830)
Penyebab perang ini adalah rasa tidak puas masyarakat terhadap kebijakan –
kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di kesultanan Yogyakarta. Belanda
seenaknya mencampuri urusan intern kesultanan. Akibatnya, di Keraton Mataram
terbentuk 2 kelompok, pro dan anti Belanda.
Pada pemerintahan Sultan HB V, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi anggota
Dewan Perwalian. Namun dia jarang diajak bicara karena sikapnya yang kritis
terhadap kehidupan keraton yang dianggapnya terpengaruh budaya barat dan
intervensi Belanda. Oleh karena itu, dia pergi dari keraton dan menetap di
Tegalrejo.
Di mata Belanda, Diponegoro adalah orang yang berbahaya. Suatu ketika, Belanda
akan membuat jalan Yogyakarta – Magelang. Jalan tersebut menembus makam leluhur
Diponegoro di Tegalrejo. Dia marah dan mengganti patok penanda jalan dengan
tombak. Belanda menjawab dengan mengirim pasukan ke Tegalrejo pada 25 Juni
1825.
Diponegoro dan pasukannya membangun pertahanan di Selarong. Dia mendapat
berbagai dukungan dari daerah – daerah. Tokoh – tokoh yang bergabung antara
lain : Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasha Prawirodirjo, dan Kyai Maja. Oleh
karena itu Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Utara
yang dipimpin Jendral Marcus de Kock.
Perang Aceh
Aceh dihormati oleh Inggris dan
Belanda melalui Traktat London pada 1824, karena Terusan Suez diuka, yang menyebabkan
kedudukan Aceh menjadi Strategis di Selat Malaka dan menjadi incaran bangsa
barat. Untuk mengantisipasi hal itu, Belanda dan Inggris menandatangani Traktat
Sumatra pada 1871.
Melihat gelagat ini, Aceh mencari bantuan ke luar negeri. Belanda yang merasa
takut disaingi menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatannya di Nusantara. Namun
Aceh menolaknya, sehingga Belanda mengirim pasukannya ke Kutaraja yang dipimpin
oleh Mayor Jendral J.H.R Kohler. Penyerangan tersebut gagal dan Jendral J.H.R
Kohler tewas di depan Masjid Raya Aceh.
Serangan ke – 2 dilakukan pada Desember 1873 dan berhasil merebut Istana
kerajaan Aceh di bawah pimpinan Letnan Jendral Van Swieten. Walaupun telah
dikuasai secara militer, Aceh secara keseluruhan belum dapat ditaklukkan. Oleh
karena itu, Belanda mengirim Snouck Hurgronye untuk menyelidiki masyarakat
Aceh.
Perang Bali
Pulau Bali dikuasai oleh kerajaan Klungkung yang mengadakan perjanjian
dengan Belanda pada 1841 yang menyatakan bahwa kerajaan Klungkung di bawah
pemerintahan Raja Dewa Agung Putera adalah suatu negara yang bebas dari
kekuasaan Belanda.
Pada 1844, perhu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah kerajaan Buleleng
dan terkena hukum Tawan Karang yang memihak penguasa kerajaan untuk menguasai
kapal dan isinya. Pada 1848, Belanda menyerang kerajaan Buleleng, namun gagal.
Serangan ke – 2 pada 1849, di bawah pimpinan Jendral Mayor A.V Michies dan Van
Swieeten berhasil merbut benteng kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini
diberi nama Puputan Jagaraga.
Setelah Buleleng ditaklukkan, banyak terjadi perang puputan antara kerajaan –
kerajaan Bali dengan Belanda untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan.
Diantaranya Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan
Klungkung (1908).
Perang Banjarmasin
Sultan Adam menyatakan secara
resmi hubungan kerajaan Banjarmasin – Belanda pada 1826 sampai beliau meninggal
pada tahun 1857. sepeninggal Sultan Adam, terjadi perebutan kekuasaan oleh 3
kelompok :
▪ Kelompok Pangeran Tamjid Illah,
cucu Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Anom, Putra
Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Hidayatullah,
cucu Sultan Adam.
Di tengah kekacauan tersebut, terjadi perang Banjarmasin pada 1859 yang
dipimpin Pangeran Antasari, seorang putra Sultan Muhammad yang anti Belanda.
Dalam melawan Belanda, Pangeran Antasari dibantu oleh Pangeran Hidayatullah.
Pada 1862, Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dalam
pertempuran dengan Belanda pada tahun tersebut, Pangeran Antasari tewas.
Perlawanan Rakyat Maluku
Upaya rakyat Ternate yang
dipimpin Sultan Hairun maupun Sultan Baabulah(1575), sejak kedatangan bangsa
Portugis pada 1512 tidak berhasil, penyebabnya adalah tidak ada kerja sama
antara kerajaan Ternate, Tidore, dan Nuku. Kekuatan Portugis hanya dapat diusir
oleh kekuatan bangsa Belanda yang lebih kuat.
Pelawanan Rakyat Mataram
Sultan Agung yang memiliki cita – cita mempersatukan pulau Jawa, berusaha
mengalahkan VOC di Batavia. Penyerangan yang dilakukan pada 1628 & 1629
mengalami kegagalan, karena selain persiapan pasukannya yang belum matang, juga
tidak mampu membuat blok perlawanan bersama kerajaan lainnya.
Perlawanan Rakyat Makasar
Konflik antara Sultan Hasanuddin dari Makasar dan Arupalaka dari Bone, memberi
jalan bagi Belanda untuk menguasai kerajaan – kerajaan Sulawesi tersebut. Untuk
memperkuat kedudukannya di Sulawesi, Sultan Hasanuddin menduduki Sumbawa,
sehingga jalur perdagangan Nusantara bagian timur dapat dikuasai. Hal ini dianggap
oleh Belanda sebagai penghalang dalam perdagangan. Pertempuran antara Sultan
Hasnuddin dengan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman selalu dapat dihalau
pasukan Sultan Hasanuddin. Lalu Belanda meminta bantuan Arupalaka yang
menyebabkan Makasar jatuh ke tangan Belanda, dan Sultan Hasanuddin harus
menandatangani perjanjian Bongaya pada 1667, yang berisi :
a. Sultan Hasanuddin harus memberikan kebebasan kepada VOC berdagang di Makasar
dan Maluku.
b. VOC memegang monopoli perdagangan di Indonesia bagian timur, dengan pusat
Makasar.
c. Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki Sultan Hasanuddin
dikembalikan kepada Arupalaka, dan dia diangkat menjadi Raja Bone.
Perlawanan Rakyat Banten
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa
mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda
ikut campur dalam urusan Banten dengan mendekati Sultan Haji. Sultan Agung yang
sangat anti VOC, segera menarik kembali tahta putranya. Putranya yang tidak
terima, segera meminta bantuan VOC di Batavia untuk membantu mengembalikan
tahtanya, akhirnya dengan bantuan VOC, dia memperoleh tahtanya kembali dengan
imbalan menyerahkan sebagian wilayah Banten kepada VOC.
Perang Paderi (1821 – 1837)
Dilatar belakangi konflik antara
kaum agama dan tokoh – tokoh adat Sumatera Barat. Kaum agama (Pembaru/Paderi)
berusaha untuk mengajarkan Islam kepada warga sambil menghapus adat istiadat
yang bertentangan dengan Islam, yang bertujuan untuk memurnikan Islam di
wilayah Sumatra Barat serta menentang aspek – aspek budaya yang bertentangan
dengan aqidah Islam.
Tujuan ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena kaum adat yang tidak
ingin kehilangan kedudukannya, serta adat istiadatnya menentang ajaran kaum
Paderi, perbedaan pandangan ini menyebabkan perang saudara serta mengundang kekuatan
Inggris dan Belanda.
Kaum adat yang terdesak saat perang kemudian meminta bantuan kepada Inggris
yang sejak 1795 telah menguasai Padang, dan beberapa daerah di pesisir barat
setelah direbut dari Belanda. Golongan agama pada saat itu telah menguasai
daerah pedalaman Sumatra Barat dan menjalankan pemerintahan berdasarkan agama.
Pada tahun 1819, Belanda menerima Padang dan daerah sekitarnya dari Inggris.
Golongan adat meminta bantuan kepada Belanda dalam menghadapi golongan Paderi.
Pada Februari 1821, kedua belah pihak menandatangani perjanjian. Sesuai
perjanjian tersebut Belanda mulai mengerahkan pasukannya untuk menyerang kaum
Paderi.
Perang
Diponegoro (1825 – 1830)
Penyebab perang ini adalah rasa tidak puas masyarakat terhadap kebijakan –
kebijakan yang dijalankan pemerintah Belanda di kesultanan Yogyakarta. Belanda
seenaknya mencampuri urusan intern kesultanan. Akibatnya, di Keraton Mataram
terbentuk 2 kelompok, pro dan anti Belanda.
Pada pemerintahan Sultan HB V, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi anggota
Dewan Perwalian. Namun dia jarang diajak bicara karena sikapnya yang kritis
terhadap kehidupan keraton yang dianggapnya terpengaruh budaya barat dan
intervensi Belanda. Oleh karena itu, dia pergi dari keraton dan menetap di
Tegalrejo.
Di mata Belanda, Diponegoro adalah orang yang berbahaya. Suatu ketika, Belanda
akan membuat jalan Yogyakarta – Magelang. Jalan tersebut menembus makam leluhur
Diponegoro di Tegalrejo. Dia marah dan mengganti patok penanda jalan dengan
tombak. Belanda menjawab dengan mengirim pasukan ke Tegalrejo pada 25 Juni
1825.
Diponegoro dan pasukannya membangun pertahanan di Selarong. Dia mendapat
berbagai dukungan dari daerah – daerah. Tokoh – tokoh yang bergabung antara
lain : Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasha Prawirodirjo, dan Kyai Maja. Oleh
karena itu Belanda mendatangkan pasukan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Utara
yang dipimpin Jendral Marcus de Kock.
Perang Aceh
Aceh dihormati oleh Inggris dan
Belanda melalui Traktat London pada 1824, karena Terusan Suez diuka, yang menyebabkan
kedudukan Aceh menjadi Strategis di Selat Malaka dan menjadi incaran bangsa
barat. Untuk mengantisipasi hal itu, Belanda dan Inggris menandatangani Traktat
Sumatra pada 1871.
Melihat gelagat ini, Aceh mencari bantuan ke luar negeri. Belanda yang merasa
takut disaingi menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatannya di Nusantara. Namun
Aceh menolaknya, sehingga Belanda mengirim pasukannya ke Kutaraja yang dipimpin
oleh Mayor Jendral J.H.R Kohler. Penyerangan tersebut gagal dan Jendral J.H.R
Kohler tewas di depan Masjid Raya Aceh.
Serangan ke – 2 dilakukan pada Desember 1873 dan berhasil merebut Istana
kerajaan Aceh di bawah pimpinan Letnan Jendral Van Swieten. Walaupun telah
dikuasai secara militer, Aceh secara keseluruhan belum dapat ditaklukkan. Oleh
karena itu, Belanda mengirim Snouck Hurgronye untuk menyelidiki masyarakat
Aceh.
Perang Bali
Pulau Bali dikuasai oleh kerajaan Klungkung yang mengadakan perjanjian
dengan Belanda pada 1841 yang menyatakan bahwa kerajaan Klungkung di bawah
pemerintahan Raja Dewa Agung Putera adalah suatu negara yang bebas dari
kekuasaan Belanda.
Pada 1844, perhu dagang Belanda terdampar di Prancak, wilayah kerajaan Buleleng
dan terkena hukum Tawan Karang yang memihak penguasa kerajaan untuk menguasai
kapal dan isinya. Pada 1848, Belanda menyerang kerajaan Buleleng, namun gagal.
Serangan ke – 2 pada 1849, di bawah pimpinan Jendral Mayor A.V Michies dan Van
Swieeten berhasil merbut benteng kerajaan Buleleng di Jagaraga. Pertempuran ini
diberi nama Puputan Jagaraga.
Setelah Buleleng ditaklukkan, banyak terjadi perang puputan antara kerajaan –
kerajaan Bali dengan Belanda untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan.
Diantaranya Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan
Klungkung (1908).
Perang Banjarmasin
Sultan Adam menyatakan secara
resmi hubungan kerajaan Banjarmasin – Belanda pada 1826 sampai beliau meninggal
pada tahun 1857. sepeninggal Sultan Adam, terjadi perebutan kekuasaan oleh 3
kelompok :
▪ Kelompok Pangeran Tamjid Illah,
cucu Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Anom, Putra
Sultan Adam.
▪ Kelompok Pangeran Hidayatullah,
cucu Sultan Adam.
Di tengah kekacauan tersebut, terjadi perang Banjarmasin pada 1859 yang
dipimpin Pangeran Antasari, seorang putra Sultan Muhammad yang anti Belanda.
Dalam melawan Belanda, Pangeran Antasari dibantu oleh Pangeran Hidayatullah.
Pada 1862, Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dalam
pertempuran dengan Belanda pada tahun tersebut, Pangeran Antasari tewas.