Senin, 30 November 2015

fenomenologi




MAKALAH
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
FENOMENOLOGI


Dosen:
DR. AdangHeriawan M.Pd

Di susun oleh:
Encun sunayah (2227140752)
UmahMarhumah (2227140827)
Musfirah (2227142384 )

KELAS III A (PGSD)


UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA (UNTIRTA)

KATA PENGNATAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT  yang telah memberikan kekuatan kepada kami sehingga dapat menyusun makalah yang berjudul FENOMENOLOGI. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Secara khusus kami ucapkan terimakasih kepada bapak DR.AdangHeriawan M.pd selaku dosen mata kuliah filsafatIlmuPendidikan.

Kami menyadari dengan sepenuh hati bahwasannya makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini serta dapat membantu dalam penyusunan tugas-tugas atau makalah-makalah berikutnya.

 Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, saran dan kritik yang membangun akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas makalah yang kami buat ini.


                                                                                                Serang,17november 2015


                                                                                                            Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni dan realitas yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan dalam kehidupan karena hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu menyangkut sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan. Filsafat digunakan untuk menentukan jalan yang akan diambil seseorang dalam kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan antara sesama.
Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang  ada, atau yang telah ada bisa diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Dengan demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang. Dan akhirnya bisa melahirkan aliran fenomenologi yang akan dipaparkan dalam makalah ini.
Perlu kita ketahui sekilas bahwa Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik. Yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita eksistensi ditentukan oleh kondis-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan herneneutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan, dan kelemahan masing-masing.






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
                                                                                               
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transcendental Husserl:
a.       Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
      b.      Noema dan Noesis                        
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c.       Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental(transenden).
d.    Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
B.     Kelebihan dan kekurangan filsafat fenomenologi :
Kelebihan filsafat fenomenoligi diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. fenomenologi sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
  2. fenomenologi mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif.
  3. fenomenologi memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dari berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti :
  1. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd.
  2. Pengetahuan yang didapat tidak bebas nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-bound)

C.     Fenomenologi sebagai ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1.    Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.    Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.    Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.    Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
D.        Fenomenologi sebagai metode           
Didalam proses berbagai pemikiran fenomenologi terdapat beberapa tahap berpikir yaitu Intensionalitas (keterarahan isi kesadaran) dan Reduksi. Sedangkan dalam fenomenologi pengalaman estetik terdapat beberapa pemahaman yang penting menuju refleksi, yaitu: imajenasi, persepsi, perasaan dan kebenaran. Metode fenomenologi ini menurut Laksmi C. Siregar dengan tehnik reduksi serta analisis esensial. Bila digunakan dengan benar merupakan yang paling radikal diantara semua metode. Analisis berdasarkan Intensionalitas dari proses kesadaran  bila dibatasi pada kesadaran berikut korelasinya, dapat merupakan awal kemungkinan yang paling kritis untuk filsafat.
                             
Fenomenologi sebagai metode dikembangkan oleh Edmund Husserl berdasarkan ide-ide gurunnya Franz Brentano (1838-1917). Husserl memakai metode fenomenologi untuk memperoleh pengetahuan yang sejati. Caranya tidak dengan induksi melainkan dengan intuisi (Anschauung) yaitu mengarahkan perhatian pada fenomen yang ada dalam kesadaran kita.

Untuk mengetahui hakekat manusia misalnya, kita tidak perlu membandingkannya dengan hewan-hewan lainnya, melainkan kita harus memperhatikan manusia sebagaimana nampak dalam kesadaran. Dengan demikian harus disingkirkan berbagai purbasangka dengan cara memberi tanda kurung (Einklammerung) terhadap pendapat yang mendahului, segala unsur tradisi, segala yang diajarkan orang lain. Selanjutnya diadakan ideation atau membuat Idea yang disebut juga Reduktion, tetapi tidak lagi fenomenologis melainkan eidetisch  yaitu penyaringan untuk mendapatkan hakekat sesuatu (eidos). Kemudian dilakukan reduksi transendental yaitu penerapan metode fenomenologi pada subyeknya sendiri, perbuatannya, dan kepada kesadaran murni.

Husserl mengadopsi sistematika Descartes dalam cara kerja fenomenologinya; dimana Descartes menggambarkan dengan jelas sitematika pendekatan. Descartes yang diakui oleh Husserl sebagai mentornya, memiliki metode yang terdiri dari empat ajaran yang metodologik, yaitu:
  • Pertama, menetapkan bahwa argumentasi harus didasarkan hanya oleh pernyataan- pernyataan yang dapat di demonstrasikan secara benar. Orang harus mendefinisikan apa itu kebenaran dan kemudian mendefinisikan pernyataan-pernyataan kebenaran itu.
  • Kedua, menyatakan bahwa orang perlu membagi masalah itu kedalam bagian-bagian yang sekecil mungkin agar dapat memfasilitasikan suatu solusi/pemecahan.
  • Ketiga, mengindikasikan bahwa orang harus berjalan secara sistimatis dari komponen masalah yang paling sederhana ke masalah yang jauh lebih komplek, suatu prosedur yang menghasilkan hubungan antara komponen-komponen yang tidak segera dapat dilihat, tetapi akan muncul dalam pelaksanaannya.
  • Keempat, menstimulasikan bahwa, dalam rangka suatu pekerjaan, pengkajian secara komprehensif  harus dilakukan atas suatu dasar yang teratur, untuk menjamin agar tidak ada yang terlupakan.
Metode Descartes ini merupakan wacana yang logis dan dapat menjadi alur berpikir yang sistematik. Berpikir yang sistematik dalam metode fenomenologi melalui berbagai tahap penting utamanya adalah Intensionalitas dan Reduksi. Dalam perkembangan selanjutnya muncul fenomenologi pengalaman estetik yang memakai tahapan Imajinasi dan Intuisi, Persepsi Estetik dan Perasaan, Kebenaran Objek Estetik menuju tahapan penting dalam pemahaman reflektif.

Katagori yang paling penting pada fenomenologi adalah intensionalitas (kesadaran). Ia dihasilkan oleh dua cara intelektual yang secara tetap aktif dalam metode fenomenologi, yaitu: pembicaraan (penulisan) yang rasional (dapat juga disebut sebagai praktek dari refleksi) dan pemahaman yang berdasarkan intuisi. Beberapa aspek penting dalam intensionalitas menurut Husserl, yaitu: melalui intensionalitas terjadi objektivikasi, melalui intensionalitas terjadi identifikasi, intensionalitas juga saling menghubungkan (korelasi) dan intensionalitas mengadakan pula konstitusi (menciptakan).

Aspek-aspek tesebut bila dihubungkan dengan gagasan Lincourt tentang fenomena arsitektur, maka akan memunculkan urutan intensionalitas runtut yang merupakan suatu tahap metode fenomenologi dalam bidang arsitektur, sebagai berikut: manusia, menjadi awal munculnya intensionalitas yaitu, intensionalitas objektivikasi; Berkegiatan mengakibatkan munculnya intensionalitas identifikasi, dari berbagai aspek kegiatan ini, kemudian muncul suatu lindungan/naungan budaya, sehingga menyebabkan intensionalitas korelasi yang mengungkapkan hubungan dari seluruh aspek, sehingga terjadi integrasi sebagai unsur-unsur dalam kesatuan identik. Sesudah terjadinya ketiga tahap intensional itu, muncullah intensionalitas konstitusi (menciptakan), yaitu kesadaran akan adanya kemampuan manusia menciptakan suatu tempat bernaung, yaitu perwujudannya disesuaikan dengan alam lingkungan bagi kehidupan manusia dan selalu terjadi penyesuaian dengan perkembangan zaman. Inilah contoh implementasi dari tahap intensional Husserl yang terekam dalam konsep pemikiran Lincourt mengenai fenomena arsitektur





pengembangan kurikulum dan pembelajaran



MAKALAH
LANDASAN PENGEMBANGAN
 KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
Di susun guna memenuhi tugas
kurikulum dan pembelajaran

logo untirta baru.jpg

Di susun oleh:
UMAH MARHUMAH (2227140827)




UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA (UNTIRTA)
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat allah swt telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini di susun untukmemenuhi salah satu tugas mata kuliah kurikulum dan pembelajaran. Makalah ini berjudul “landasan penembanagan kurikulum dan pembelajaran”. Makalah ini terdiri dari empat, bab satu pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah. Dan tujuan penulisan makalah. Bab dua pembahasan berisi landasan teori. Bab tiga pembahasan berisi hakikat pengembangan kurikulum, prinsip-prinsip kurikulum, landasan pengembangan kurikulum.landasan tersebut di bagi menjadi emapat yaitu landasan filosofis, landasan psiklogis, landasan  sosiologi dan antrofologis dan landasan IPTEK. Bab empat penutup berisi kesimpulan dan saran. Daftar pustaka.
            Penyusunan makalah initidak terlepas dari bantua berbagai pihak, maka kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami dalalm menyelesaikan makalah ini.
            Kami tidak menunntup kemungkinan dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kami berharap dosen dapat memberikan kritik dan saran yang membangun konstruktif demi perbaikan makalah kedepan.

Serang, 06 oktober 2015

penyusun




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................           i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................            1
            1.1       Latar belakang........................................................................            1
            1.2       Tujuan.................................................................................... 1
            1.3       Manfaat................................................................................. 1

BAB II LANDASAN TEORI......................................................................3
2.1       (Redja Mudyanarjo, 2001;8).................................................3
2.2       Menurut soedijarto................................................................. 3
2.3       Robert S. Zais (1976)............................................................. 3
2.4       Tyler (1988)........................................................................... 3
                                        
BAB III PEMBAHASAN............................................................................5
            3.1       Hakikat perkembangan kurikulum..........................................5
            3.2       prinsip-prinsip pengembangan kurikulum...............................6
            3.3       landasan pengembangan kurikulum........................................7
                       
BAB IV PENUTUP......................................................................................            16
            4.1 kesimpulan................................................................................... 16
            4.2 saran............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................           17



BAB I
PENDAHULUAN
1.1     LATAR BELAKANG
Di zaman modern seperti sekarang ini, pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia. Pendidikan sebagai sarana untuk mengembangan potensi diri yang ada. Pendidikan juga tidak lepas dari kurikulum. Karena kurikulum itu sebagai pondasi bagi pendidikan agar kegiatan belajar mengajar dapat terlaksana dengan baik. Setiap manusia pasti berkembang begitu pula dengan kurikulum. Untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang mempunyai kebutuhan berbeda setiap zamannya. Kurikulum akan selalu berkembang agar dapat memenuhi kebutuhan suatu lembaga. Ketika kurikulum tidak dikembangkan sesuai dengan meningkatnya kebutuhan suatu lembaga, maka lembaga itu akan mengalami ketertinggalan. Tetapi untuk mengembangkan kurikulum, tidak hanya dirancang sesuai keinginan para pengelola lembaga tertentu, melainkan harus memperhatikan beberapa aspek pengembangan kurikulum, yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologis, dan landasan IPTEK.

1.2     TUJUAN
  makalah penelitian ini disusun dengan tujuan untuk:
1.    Mengetahui prinsip yang harus ada dalam kurikulum.
2.    Mengetahui perlunya landasan dalam kurikulum.
3.    Mengetahui pentingnya landasan dalam pembuatan kurikulum.
4.    Mengetahui landasan kurikulum jika ditinjau dari segi filosofis, psikologis, sosiologis, dan IPTEK

1.3     RUANG LINGKUP MATERI
Landasan-landasan pengembangan kurikulum harus berpijak pada landasan-landasan
yang kuat dan kokoh, karena landasan kurikulum dapat menjadi titik tolak.
Adapun landasan-landasan pengembangan kurikulum meliputi :
1.      Landasan filosofis
2.      Landasan psikologis
3.      Landasan sosiologis
4.      Landasan pengetahuan dan teknologi
                           



























BAB II
LANDASANAN TEORI

2.1 Hornby c.s dalam “The Advance Learner’s Dictionary of Current English” (Redja Mudyanarjo, 2001;8)
 mengemukakan definisi landasan sebagai berikut: “foundation that on which an idea or belief rest; an underlying principles as the foundations of religious belief the basis or starting point..” jadi menurut hornby landasan adalah suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran, sesuatu prinsip yang mendasar, contohnya seperti landasan kepercayaan agama, dasar atau titik tolak.
2.2 Menurut soedijarto
 “kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan dan diorganisir untuk diatasi oleh siswa dan mahasiswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga pendidikan”.
Dengan demikian landasan pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu gagasan asumsi atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.
2.3  Robert S. Zais (1976)
mengemukakan empat landasan pengembangan kurikulum, yaitu philosophy and the nature of  knowledge, society and culture the individual, dan learning theory. Kurikulum sebagai suatu sistem terdiri atas empat komponen, yaitu: komponen tujuan (aims, goals, objectives), isi/materi (contents), proses pembelajaran (learning activities), dan komponen evaluasi (evaluations). Agar setiap komponen bisa menjalankan fungsinya secara tepat dan bersinergi, maka perlu ditopang oleh sejumlah landasan (foundations), yaitu landasan filosofis sebagai landasan utama masyarakat dan kebudayaan individu (peserta didik), dan teori-teori belajar.




2.4  Tyler (1988)
mengemukakan pandangan yang erat kaitannya dengan beberapa aspek yang melandasi suatu kurikulum (school purposes), yaitu “Use of philosophy, studies of learners suggestions from subject specialist, studies of contemporary life, dan use of psychology of learning”.
Berdasarkan kedua pendapat diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa landasan pokok dalam pengembangan kurikulum dikelompokan kedalam empat jenis, yaitu : landasan filosofis, landasan psikologis,landasan sosiologis, dan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
                                                                                 





















BAB III
PEMBAHASAN

3.1     Hakikat Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus sicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa.
Fungsi landasan pengembangan kurikulum adalah seperti fondasi sebuah bangunan. Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus.
Pengembangan landasan kurikulum terdiri atas tiga sumber, yaitu:
1.      Studi tentang hakikat dan nilai ilmu pengetahuan
2.      Studi tentang kehidupan
3.      Studi tentang siswa dan teori-teori belajar sebagai aspek psikologi

3.2     Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
1)   Prinsip Relevansi
Pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi dan sistem penyampaian harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tegnologi.

2)   Prinsip Fleksibelitas
Kurikulum yang luwes mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, jadi tidak statis atau kaku. Prinsip fleksibelitas memiliki dua sisi:
pertama, fleksibel bagi guru yaitu kurikulum harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada.
Kedua, fleksibel bagi siswa yaitu kurikuum harus menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan bakat dan minat siswa.
3)   Prinsip Kontinuitas
Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-spek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan satu sama lain memiliki hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan pendidikn, tingkat perkembangan siswa. Dengan prinsip ini, tampak jelas alur dan keterkaitan di dalam kurikulum tersebut sehingga mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
4)   Prinsip Efektifitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas dalam suatu pengembangan kurikulum, yaitu:
Pertama, efektivitas berhubungan dengan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas.
Kedua, efektivitas kegiatan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar.
5)   Prinsip Efisiensi
Kurikulum dikatakan memiliki tingkat efesiensi yang tinggi apabila dengan sarana, biaya yang minimal dan waktu yang terbatas dapat memperoleh hasil yang maksimal. Kurikulum harus dirancang untuk dapat digunakan dalam segala keterbatasan.









3.3    Landasan Pengembangan Kurikulum
1.      Landasan Filosofis dalam Pengembangan Kurikulum
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata philosdan sophia.Philosartinya cinta yang mendalam dan sophiaadalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidip bagi individu.
Filsafat sebagai landasan fundamenatal, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.

a.      Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Tujuan pendidikan harus mengandung tiga hal yaitu:
1.      Autonomy,artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
2.      Equity,artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi.
3.      Survival,artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antar manusia.
Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan, artinya pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa yang kita harapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa kemana anak yang kita didik itu? apa yang harus dikuasai oleh mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan aggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup dalam system nilai masyaraktnya sendiri, oleh sebab itu laam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan system nilai masyarakat.
Nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kuri kulum yang berlaku, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh guru di dalam kelas.
Menurut Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan ke dalam tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektifdan psikomotor. Domain kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif berhubungan dengan pengembangan sikap dan bidang psikomotor berhubungan dengan keterampilan.

b.      Filsafat sebagai Tujuan Berpikir
Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba seperti yang dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir yang radikal, sistematis dan universal. Berpikir yang radikal yaitu berpikir sampai ke akarnya, tidak tanggung-tanggung sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan. Berpikir universal, artinya tidak berpikir secara khusus, yang terbatas kepada bagian-bagian tertentu. Orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Menurut Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat yaitu idealisme, realisme, pragmatisme dan eksistensialime.
Aliran idealisme memandang bahwa kebenaran itu datangnya dari Yang Maha Kuasa. Manusia tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakannya. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebetulnya sudah ada. Pandangan aliran idealisme tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh tentang pengetahuan serta nilai-nilai atau norma serta terhadap aspek-aspek lain.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, kemampuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra.
Aliran pragmatisme berpendapat bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Berkat hubungan sosial itu, manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya.
Aliran eksistensialisme mengakui bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri.

2.      Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologis perkembangan dan kondisi psikologis belajar anak

a.      Psikologi Perkembangan Anak
Untuk memahami perkembangan siswa, salah satu teori yang banyak digunakan adalah seperti yang dikemukakan oleh Piaget yang terkenal dengan teori perkembangan kognitif. Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarahkan dan membimbing perilaku anak. Menurut Piaget, perkembangan intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan tertentu itu menurut Piaget terdiri dari 4 fase, yaitu:
Sensorimotor (0-2 tahun),pada fase ini kemampuan kognitif anak sangat terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih didasarkan kepada perilaku yang terbuka. Intelegensi sensorimotor juga dinamakan intelegensi praktis. Dikatakan demikian, oleh karena pada masa ini anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia lakukan kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan itu. dari proses interaksi, anak memperoleh pengalaman fisik dan pengalaman mental. Piaget percaya, bahwa asal mula tumbuhnya struktur mental adalah aksi atau tindakan. Artinya, apabila seorang anak melihat, merasakan, atau mengerakkan suatu benda, maka ia akan memaksa otaknya untuk membangun program-program mental untuk menguasai dan menanganinya.
Praoperasional (2-7 tahun),menurut Piaget, fase ini ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui pengalamannya anak dapat mengenal objek dan anak akan mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif. Ketiga, fase praoperasional ini juga dinamakan fase intuisi, sebab pada masa ini anak mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau kelasnya. Keempat, pandangan terhadap dunia, pada fase ini bersifat animistic, artinya bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah hidup. Keliama, pada fse ini pengamatan dan pemahaman sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang egocentric.Ia akan beranggapan bahwa cara pandanag orang lain terhadap objek sana seperti dirinya.
Operasional Konkret (7-11 tahun),pada masa ini pikiran anak terbatas pada objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Pada masa ini, selain kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki pada masa sebelumnya, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut dengan system of operations. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meluputi conservation,addition of classes dan multiplication of classes.Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka kemampuan operasi kognitif ini juga meliputi kemampuan melakukan berbagai macam operasional secara matematika, seperti menambah, mengurang, mengalikan dan membagi.
Operasional Formal (12-14 tahun ke atas),Piaget menanamkan fase ini sebagai fase formal operational, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sistematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Anak sudah mampu memprediksi berbagai macam kemungkinan. Baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak. Tanpa pertimbangan psikologi anak, maka dapat dipastikan kurikulum yang disusun tidak akan efektif.

b.      Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas belajar sebgai proses perubahan tingkah laku. Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori tabularasanya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu bergantung pada orang yang menulisnya. Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia itu adalah organisme yang aktif. Manusia adalah sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya, manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk menentukan atau membuat pilihan dalam setiap situasi.
Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respon.


3.      Landasan Sosiologis dan Antropologis dalam Pengembangan Kurikulum
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia–manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial–budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.



4.      Landasan IPTEK dalam Pengembangan Kurikulum
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia pada masa yang berbeda dengan masa sebelumnya, bahkan masa yang tidak pernah terbayangkan di masa lalu. Munculnya hasil-hasil teknologi seperti hasil teknologi transportasi, yang bukan hanya menyebabkan manusia bisa menjelajah dunia, bahkan hingga luar angkasa. Demikian juga kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi, yang memungkinkan manusia untuk mengetahui informasi dari berbagai belahan dunia dalam waktu singkat. Namun demikian, kemajuan tersebut tidak hanya memunculkan dampak positif, bersamaan dengan itu muncul pula berbagai dampak negatif kemajuan teknologi yang sering membuat cemas.
Munculnya permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan tugas-tugas pendidikan yang diemban sekolah menjadi kian kompleks. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan kadang-kadang tidak mampu lagi melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Bahkan seiring dengan kemajuan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tanggung jawab sekolah kini menjadi tugas sekolah. Sekolah tidak hanya bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu pengetahuan, tetapi juga harus memberi keterampilan, juga harus menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai.
Dengan tugas dan tanggung pendidikan yang demikian berat, kurikulum sebagai alat pendidikan, harus selalu diperbarui menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat. Pendidikan merupakan usaha menyiapkan anak didik agar siap menghadapi lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan. Kita maklumi bersama bahwa perubahan tersebut berjalan dengan pesat. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan, serta membekali anak didik dengan ilmu pengetahuan guna perannya di masa datang. Sementara itu teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan ilmiah dan ilmu-ilmu lainnya untuk memecahkan masalah-maslaah praktis. Dengan demikian Ilmu dan teknologi tidak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring lajunya perkembangan masyarakat. IPTEK dimiliki seluruh bangsa, dan senantiasa berkembang mengikuti perkembangan masyarakatnya. Perkembangan IPTEK memiliki pengaruh yang cukup luas, meliputi segala bidang kehidupan. Dalam bidang pendidikan, perkembangan teknologi industri mempunyai hubungan timbal balik dengan pendidikan. Industri dengan teknologi maju memroduksi berbagai macam alat-alat dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan. Sebaliknya kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunakan alat-alat yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan, apalagi di saat perkembangan produk teknologi komunikasi yang semakin canggih, tentu menuntut pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak didik untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan program yang harus dilaluinya.
Perhatian terhadap IPTEK sebagai landasan kurikulum, secara langsung adalah dengan menjadikannya isi/materi pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung memberikan kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna menyelesaikan persoalan hidupnya. Khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan. Pendidikan pada dasarnya adalah bersifat normatif, dengan demikian perubahan nilai-nilai yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diarahkan agar bisa menuju pada perubahan yang bersifat positif. Oleh karena itu pengembangan kurikulum harus senantiasa menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasannya, sehingga menghasilkan kurikulum yang memiliki kekuatan, dan juga bisa mengembangkan dan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi lebih memajukan peradaban manusia. Para pengembang kurikulum, termasuk di dalamnya guru-guru, harus memahami perubahan tersebut, agar isi dan strategi yang dikembangkan dalam kurikulum tidak menjadi usang, atau ketinggalan zaman.





BAB IV
PENUTUP

4.1     Simpulan
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat dan didasarkan pada hasil pemikiran dan penelitian mendalam. Seperti landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologi dan antropolgi serta landasan IPTEKS, karena hakikatnya kurikulum dibuat agar peserta didik dapat terjun atau berpartisipasi langsung dalam dunia masyarakat dan kehidupan nyata. Landasan filosofis berkaitan dengan filsafat yang merupakan unsur yang cukup penting dalam mengembangkan kurikulum, landasan psikologis berkaitan dengan psikolog perkembangan anak dan psikolog belajar. Landasan Sosiologis dan Antropologis berkaitan dengan budaya-budaya dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum. Landasan IPTEKS berkaitan dengan isi kurikulum yang menyelaraskan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni.

4.2     Saran
Sebaiknya peserta didik diberi informasi mengenai landasan-landasan dalam pengembangan kurikulum. Landasan-landasan kurikulum ini sangat penting dalam pengembangan kurikulum karena tanpa landasan-landasan tersebut isi kurikulum akan kurang relevan jika dikaitkan dengan kehidupan nyata. Peserta didik jangan diberikan bentuk kurikulum saja namun harus mengetahui isi kurikulum, landasan-landasan pengembangan kurikulum serta komponen-komponen kurikulum yang sesungguhnya akan sangat berguna bagi peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat atau kehidupannya yang nyata kela





DAFTAR PUSTAKA

Sanjaya,Wina. Kurikulum dan pembelajaran: teori dan praktik pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana Prenada Group (2010).

Musthofa, Zaeni. 2012. Landasan IPTEK Pengembangan Kurikulum. [Online]. Tersedia:http://willzen.blogspot.com/2012/01/landasan-iptek-pengembangan-kurikulum.html
[ 25 Februari 2013].