Senin, 30 November 2015

fenomenologi




MAKALAH
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
FENOMENOLOGI


Dosen:
DR. AdangHeriawan M.Pd

Di susun oleh:
Encun sunayah (2227140752)
UmahMarhumah (2227140827)
Musfirah (2227142384 )

KELAS III A (PGSD)


UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA (UNTIRTA)

KATA PENGNATAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT  yang telah memberikan kekuatan kepada kami sehingga dapat menyusun makalah yang berjudul FENOMENOLOGI. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Secara khusus kami ucapkan terimakasih kepada bapak DR.AdangHeriawan M.pd selaku dosen mata kuliah filsafatIlmuPendidikan.

Kami menyadari dengan sepenuh hati bahwasannya makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini serta dapat membantu dalam penyusunan tugas-tugas atau makalah-makalah berikutnya.

 Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, saran dan kritik yang membangun akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas makalah yang kami buat ini.


                                                                                                Serang,17november 2015


                                                                                                            Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni dan realitas yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan dalam kehidupan karena hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu menyangkut sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan. Filsafat digunakan untuk menentukan jalan yang akan diambil seseorang dalam kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan antara sesama.
Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang  ada, atau yang telah ada bisa diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Dengan demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang. Dan akhirnya bisa melahirkan aliran fenomenologi yang akan dipaparkan dalam makalah ini.
Perlu kita ketahui sekilas bahwa Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik. Yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita eksistensi ditentukan oleh kondis-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan herneneutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan, dan kelemahan masing-masing.






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
                                                                                               
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transcendental Husserl:
a.       Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
      b.      Noema dan Noesis                        
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c.       Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental(transenden).
d.    Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
B.     Kelebihan dan kekurangan filsafat fenomenologi :
Kelebihan filsafat fenomenoligi diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
  1. fenomenologi sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
  2. fenomenologi mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif.
  3. fenomenologi memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dari berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti :
  1. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd.
  2. Pengetahuan yang didapat tidak bebas nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-bound)

C.     Fenomenologi sebagai ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1.    Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.    Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.    Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.    Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
D.        Fenomenologi sebagai metode           
Didalam proses berbagai pemikiran fenomenologi terdapat beberapa tahap berpikir yaitu Intensionalitas (keterarahan isi kesadaran) dan Reduksi. Sedangkan dalam fenomenologi pengalaman estetik terdapat beberapa pemahaman yang penting menuju refleksi, yaitu: imajenasi, persepsi, perasaan dan kebenaran. Metode fenomenologi ini menurut Laksmi C. Siregar dengan tehnik reduksi serta analisis esensial. Bila digunakan dengan benar merupakan yang paling radikal diantara semua metode. Analisis berdasarkan Intensionalitas dari proses kesadaran  bila dibatasi pada kesadaran berikut korelasinya, dapat merupakan awal kemungkinan yang paling kritis untuk filsafat.
                             
Fenomenologi sebagai metode dikembangkan oleh Edmund Husserl berdasarkan ide-ide gurunnya Franz Brentano (1838-1917). Husserl memakai metode fenomenologi untuk memperoleh pengetahuan yang sejati. Caranya tidak dengan induksi melainkan dengan intuisi (Anschauung) yaitu mengarahkan perhatian pada fenomen yang ada dalam kesadaran kita.

Untuk mengetahui hakekat manusia misalnya, kita tidak perlu membandingkannya dengan hewan-hewan lainnya, melainkan kita harus memperhatikan manusia sebagaimana nampak dalam kesadaran. Dengan demikian harus disingkirkan berbagai purbasangka dengan cara memberi tanda kurung (Einklammerung) terhadap pendapat yang mendahului, segala unsur tradisi, segala yang diajarkan orang lain. Selanjutnya diadakan ideation atau membuat Idea yang disebut juga Reduktion, tetapi tidak lagi fenomenologis melainkan eidetisch  yaitu penyaringan untuk mendapatkan hakekat sesuatu (eidos). Kemudian dilakukan reduksi transendental yaitu penerapan metode fenomenologi pada subyeknya sendiri, perbuatannya, dan kepada kesadaran murni.

Husserl mengadopsi sistematika Descartes dalam cara kerja fenomenologinya; dimana Descartes menggambarkan dengan jelas sitematika pendekatan. Descartes yang diakui oleh Husserl sebagai mentornya, memiliki metode yang terdiri dari empat ajaran yang metodologik, yaitu:
  • Pertama, menetapkan bahwa argumentasi harus didasarkan hanya oleh pernyataan- pernyataan yang dapat di demonstrasikan secara benar. Orang harus mendefinisikan apa itu kebenaran dan kemudian mendefinisikan pernyataan-pernyataan kebenaran itu.
  • Kedua, menyatakan bahwa orang perlu membagi masalah itu kedalam bagian-bagian yang sekecil mungkin agar dapat memfasilitasikan suatu solusi/pemecahan.
  • Ketiga, mengindikasikan bahwa orang harus berjalan secara sistimatis dari komponen masalah yang paling sederhana ke masalah yang jauh lebih komplek, suatu prosedur yang menghasilkan hubungan antara komponen-komponen yang tidak segera dapat dilihat, tetapi akan muncul dalam pelaksanaannya.
  • Keempat, menstimulasikan bahwa, dalam rangka suatu pekerjaan, pengkajian secara komprehensif  harus dilakukan atas suatu dasar yang teratur, untuk menjamin agar tidak ada yang terlupakan.
Metode Descartes ini merupakan wacana yang logis dan dapat menjadi alur berpikir yang sistematik. Berpikir yang sistematik dalam metode fenomenologi melalui berbagai tahap penting utamanya adalah Intensionalitas dan Reduksi. Dalam perkembangan selanjutnya muncul fenomenologi pengalaman estetik yang memakai tahapan Imajinasi dan Intuisi, Persepsi Estetik dan Perasaan, Kebenaran Objek Estetik menuju tahapan penting dalam pemahaman reflektif.

Katagori yang paling penting pada fenomenologi adalah intensionalitas (kesadaran). Ia dihasilkan oleh dua cara intelektual yang secara tetap aktif dalam metode fenomenologi, yaitu: pembicaraan (penulisan) yang rasional (dapat juga disebut sebagai praktek dari refleksi) dan pemahaman yang berdasarkan intuisi. Beberapa aspek penting dalam intensionalitas menurut Husserl, yaitu: melalui intensionalitas terjadi objektivikasi, melalui intensionalitas terjadi identifikasi, intensionalitas juga saling menghubungkan (korelasi) dan intensionalitas mengadakan pula konstitusi (menciptakan).

Aspek-aspek tesebut bila dihubungkan dengan gagasan Lincourt tentang fenomena arsitektur, maka akan memunculkan urutan intensionalitas runtut yang merupakan suatu tahap metode fenomenologi dalam bidang arsitektur, sebagai berikut: manusia, menjadi awal munculnya intensionalitas yaitu, intensionalitas objektivikasi; Berkegiatan mengakibatkan munculnya intensionalitas identifikasi, dari berbagai aspek kegiatan ini, kemudian muncul suatu lindungan/naungan budaya, sehingga menyebabkan intensionalitas korelasi yang mengungkapkan hubungan dari seluruh aspek, sehingga terjadi integrasi sebagai unsur-unsur dalam kesatuan identik. Sesudah terjadinya ketiga tahap intensional itu, muncullah intensionalitas konstitusi (menciptakan), yaitu kesadaran akan adanya kemampuan manusia menciptakan suatu tempat bernaung, yaitu perwujudannya disesuaikan dengan alam lingkungan bagi kehidupan manusia dan selalu terjadi penyesuaian dengan perkembangan zaman. Inilah contoh implementasi dari tahap intensional Husserl yang terekam dalam konsep pemikiran Lincourt mengenai fenomena arsitektur





Tidak ada komentar:

Posting Komentar